Sabtu, 12 Juni 2010

URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA

P E N D A H U L U A N
Sikap hidup dan perilaku Nabi Suci Muhammad SAW senantiasa “ hidup “ dan terus menjadi panutan setiap muslim untuk membangun akhlak mulia.
Akhlak adalah kelakuan, yang mana akhlak di sini adalah berupa kelakuan manusia yang sangat beragam, keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruknya suatu perbuatan manusia itu sendiri.
Akhlak merupakan suatu perbuatan yang bertujuan jelas yaitu : untuk memperbaiki pribadi muslim sehingga bisa melaksanakan Islam dengan sebaik-baiknya, adapun perbaikan yang dimaksud di sini adalah : segala sesuatu yang sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Al Qur’an dari Hadits Nabi SAW.
Merujuk pada sebuah ayat Al Qur’an surah Al Ahzab yang artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu ……
Yang mana salah satu sumber suri teladan adalah perilaku Rasul SAW yang mana Rasulullah SAW dengan kehadirannya di muka bumi ini sebagai sesorang yang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Berbicara tentang akhlak maka dalam makalah ini penulis akan mencoba sedikit menguraikan tentang urgensi pendidikan akhlak dalam keluarga.



P E M B A H A S A N
URGENSI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA
A. AKHLAK
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata Akhlak diartikan sebagai Budi Pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa arab ( yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama ), namun kata seperti itu tidak ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut, yaitu : Khuluq yang tercantum dalam Al Qur’an ayat 4 surat Al Qalam :
وإنك لعلى خلق غظيم
“Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) berada di atas budi pekerti yang agung”. ( Q.S Al Qalam : 4 ).
Kata Akhlak banyak ditemukan dalam hadits-hadits Nabi SAW, dan yang paling populer adalah :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق ( رواه مالك ).
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Akhlak merupakan perbuatan yang lahir dari kemauan dan pemikiran, dan mempunyai tugas yang jelas dan dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah : Jalan menuju kebahagiaan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Keluarga Muhammad SAW telah menanamkan ajaran-ajaran yang membimbing kita menuju kebahagiaan yang diimpikan semua orang. Bahkan lebih dari itu, kita dapat mengambil faedah dari Akhlak yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan keluarganya untuk berhias diri dengan ajaran Rasul SAW, serta membentuk keperibadian kita pada sosoknya yang paling baik, paling cemerlang dan suci.
Al-Mufadhdhal bin Umar meriwayatkan dari Al-Shadiq yang mengatakan : “Hendaklah kamu sekalian memiliki akhlak mulia, karena sesungguhnya Allah SWT mencintainya, dan hendaklah kalian menjauhkan diri dari perangai buruk karena Allah SWT membencinya.”
B. AKHLAK ISLAMI
1. Di antara Akhlak Rasulullah SAW.
Akhlak Rasulullah SAW adalah : Al Qur’an. Beliau membenci apa yang dibenci Al Qur’an dan merasa senang apa yang disenanginya. Tidak dendam dan marah kepada seseorang kecuali jika melakukan hal-hal yang diharamkan Allah SWT, sehingga kemurahannya karena Allah SWT.
Rasulullah SAW merupakan orang yang paling jujur ucapannya, paling memenuhi tanggung jawabnya, paling lembut perangainya, paling mulia pergaulannya, lebih pemalu dari perwan pingitan, rendah hati dan selalu berpikir, tidak keji dan tidak pengutuk, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan tapi membalasnya dengan memberi maaf dan jabat tangan, barangsiapa meminta suatu kebutuhan maka tidak pernah ditolaknya dengan hati kasar dan sikap keras,tidak pernah memotong pembicaraan orang lain kecuali jika bertentangan dengan kebenaran sehingga memotong pembicaraannya dengan larangan atau berdiri, tidak menganggap bohong kepada sesorang, tidak dengki kepadanya dan tidak memintanya untuk bersumpah.
Rasulullah SAW menjaga tetangganya dan menghormati tamunya, waktunya tidak pernah berlalu tanpa beramal untuk Allah SWT atau mengerjakan sesuatu yang harus dikerjkan. Cinta kepada optimisme dan benci kepada pesimistisme, jika ada dua pilihan maka beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan dosa. Senang menolong orang yang membutuhkan dan membantu orang yang teraniaya.
Rasulullah SAW juga senang kepada sahabat-sahabatnya, bermusyawarah dengan mereka, dan memeriksa mereka, barangsiapa sakit dikunjunginya, barangsiapa tidak hadir diundangnya, barangsiapa meninggal dunia dido’akannya serta menerima alasan orang yang uzur kepadanya. Baginya orang yang kuat dan orang yang lemah mempunyai hak yang sama. Beliau juga berbicara, jika orang menghitung pembicaraannya tentu akan dapat menghitungnya karena kefasihah dan pelannya. Di samping itu beliau juga bergurau dan tidak mengucapkan sesuatu kecuali kebenaran.
2. Sopan Santun dan Kerendahan Hati Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW adalah orang yang paling sayang dan hormat kepada para sahabatnya, memberi tempat lapang kepada mereka jika kesempitan, memulai salam kepada orang yang dijumpai, dan jika berjabat tangan dengan sesorang tidak pernah melepaskan sebelumorang tersebut melepaskan tangannya.
Rasulullah SAW adalah orang yang paling rendah hati, jika berada bersama pada suatu kaum dalam mejelis selalu duduk bersama mereka dan tidak berdiri sebelum majelis selesai. Setiap yang duduk bersama beliau diberi haknya masing-masing sehingga tidak seorangpun yang merasa bahwa orang lain lebih mulia daripada dirinya di hadapan Rasulullah SAW. Jika sesorang duduk didekatnya, beliau tidak berdiri sebelum orang tersebut berdiri kecuali jika ada urusan yang mendadak, maka beliau meminta izin kepadanya.
Rasulullah SAW benci kepada orang yang berdiri menghormatinya. Dari Anas bin Malik ra berkata : “ Tak seorangpun yang mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada Rasulullah SAW, tapi jika mereka melihat Rasulullah SAW, mereka tidak berdiri untuk menghormati beliau karena beliau benci hal yang demikian” ( HR Ahmad dan At Tirmidzi ).
Beliau menyenangi hal-hal yang baik dan tidak suka kepada hal-hal yang tidak baik seperti bawang putih dan bawang merah atau yang serupa dengannya, beliau haji sambil mengatakan :
اللهم هذه حجة لارياء فيها ولاسمهة ( رواه المقدسى )
“Ya Allah SWT, ini adalah benar-benar haji yang tidak ada riya dan tidak mencari popularitas di dalamnya “ ( HR Maqdisi ).
C. TELADAN NABI
Yang Maha Agung berfirman dalam Al-Qur’an “ Sesungguhnya telah ada pda (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah SWT” (QS. Al-Ahzab : 21)
Salah satu sumber “suri teladan” adalah perilaku Rasulullah Swt satu dari sekian banyak rahmat Allah Swt dan bagian dari kebanggaan kita sebagai umat Islam, dibandingkan dengan pengikut agama lain, terletak pada fakta bahwa sebagian besar perkataan otentik Rasulullah (sesuatu yang tidak kita ragukan lagi diucapkan langsung oleh Rasulullah) sekarang masih berlaku bagi kita.
Bukan hanya perkataan-perkataan beliau saja yang mengandung makna yang tersembunyi, bahkan perilaku Rasulullah Saw sendiri merupakan subjek untuk penafsiran yang sudah seharusnya direnungkan secara mendalam. Dalam Al-Qur’an dikatakan : “Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah Saw itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah Swt dan kedatangan hari akhir dan dia banyak menyebut nama Allah Swt ( QS. Al-Ahzab : 21)
Sebagaimana telah disebutkan dalam ayat Al-Qur’an di atas, perilaku Rasulullah Swt adalah suri teladan bagi pengikutnya. Keberadaan beliau bagaikan sebuah sumber atau titik pusat semua tindakan dan hukum. Riwayat kehidupan Rasulullah Swt bukan untuk kepentingan cerita semata, tetapi lebih penting lagi adalah penafsiran dan penerapan perilaku yang beliau contohkan untuk kita.
Akhlak yang diajarkan nabi adalah akhlak yang membimbing manusia tentang bagaimana cara hidup, dan bukan tantang bagaimana cara untuk mati. Nabi Saw adalah contoh hidup dari apa yang diajarkannya itu. Sabda Rasulullah Saw :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق ( رواه مالك ).
“Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak”.
Urgensi Pendidikan Islami bagi Anak
Saat ini anak-anak mengalami krisis keteladanan. Hal ini terjadi karena orang tua, para guru dan mass media kurang banyak mengangkat tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak. Tayangan-tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai variasinya, acara sinetron atau acara gosip selebriti tidak dapat diharapkan memberikan contoh kehidupan Islami secara utuh. Sementara itu porsi penanaman akhlak mulia melalui contoh pribadi teladan pada pelajaran-pelajaran keislaman di sekolah juga masih rendah.
Dalam kondisi krisis keteladanan ini, keluarga menjadi basis penting bagi anak untuk menemukan keteladanan. Maka ayah dan ibu menjadi figur-figur pertama bagi anak untuk memenuhi kebutuhan ini. Oleh karenanya orang tua mesti memiliki kesadaran untuk menjadi pribadi teladan dalam proses pembentukan akhlak Islami pada anak.
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah Saw, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah terhadap pendidikan putra-putri secara islam. Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman dalam Surah At-Tahrim: 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. Dan di dalam hadits Rasulullah Saw bersabda : “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban”.
Untuk itu seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Saw. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:

- Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid, dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam azab neraka. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)
Rasulullah Saw sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas Ra dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan, Ibnu Abbas bercerita : “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah”.
Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah Saw kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid.

Tuntunan berikutnya ialah:
- Mengajarkan taat kepada kedua orang tua, dalam batas-batas ketaatan kepada Pencipta, sebagai manifestasi kesyukuran seseorang kepada Ilahi.
- Mengajarkan “husnul mu'asyarah” (pergaulan yang benar) serta dibangun di atas dasar keyakinan akan hari kebangkitan, sehingga pergaulan tersebut memiliki akar kebenaran dan bukan kepalsuan.
- Menanamkan nilai-nilai “Takwallah”.
- Menumbuhkan kepribadian yang memiliki ketaatan kepada Allah yang kuat, di antaranya dengan mendirikan shalat.
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Mulai dari tatacara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabd: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).
Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah menganjurkan kepada para orang tua supaya mengajari anak-anak untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan memukul mereka bila tidak mau shalat ketika mereka sudah berusia sepuluh tahun.

- Menumbuhkan dalam diri anak “kepedulian sosial” yang tinggi (amr ma’ruf-nahi munkar).
- Membentuk kejiwaan anak yang kokoh (Shabar).
- Menumbuhkan “sifat rendah hati” serta menjauhkan “sifat sombong”
- Mengajarkan “kesopanan” dalam sikap dan ucapannya.

Seorang tokoh pendidikan Islam, Ali Asraf berpendapat bahwa pendidikan merupakan sebuah aktivitas yang memiliki maksud tertentu, diarahkan untuk mengembangkan individu sepenuhnya. Manusia adalah wakil Allah di muka bumi. Dalam Al-Quran Allah menjelaskan tentang nama-nama benda, mengajarkan norma-norma kepada manusia pilihan, yaitu para Nabi. Norma-norma dan prinsip-prinsip serta metode-metode tentang pembelajaran dan pengetahuan telah Allah turunkan melalui wahyu.
Iqbal pernah mengungkapkan: “Sistem pendidikan Barat mampu membawa anak-anak kita mengkagumi dan mempelajari kemajuan teknologi, tetapi tidak bagi mendidik mata anak-anak untuk menangisi dosa-dosanya dan mendidik hati mereka supaya takut hanya kepada Penciptanya”.
Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya. Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagaimana binatang ternak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa.”

Al Qur'an mengisahkan, Ibrahim dan Ya'qub senantiasa mewasiatkan anak-anaknya tentang agama Islam. Bahkan Ya'qub AS disaat-saat menjelang maut menjemputnya, menyempatkan diri bertanya kepada anak-anaknya: "madzaa ta'buduuna min ba'di" (Apa yang akan kalian sembah setelah kematianku)? QS: Al Baqarah: 133.
Gambaran Ibrahim dan Ya'qub AS di atas mengajarkan betapa besar perhatian mereka terhadap kesadaran beragama bagi anak-anak mereka. Sebaliknya, ummat Muslim saat ini seolah-olah telah mengganti ayat "maadza ta'buduuna" (apa yang kamu sembah) dengan kata-kata "maadza ta'kuluuna" (apa yang akan kamu makan setelah aku meninggal). Kepedulian terhadap kelangsungan kesadaran beragama anak-anak kita sangat minim sekali. Sehingga sebagai ilustrasi, seringkali jika anak kembali dari sekolah yang ditanyakan adalah nilai berapa yang kamu dapatkan? Sementara shalatnya tidak dipedulikan sama sekali.
Pendidikan anak bukan hanya disekolah saja, tetapi dirumah dan di masyarakat sekitar kita. Sebagai orangtua hanya berusaha membangun fondasi yang kuat untuk mereka termasuk mental-spiritual dan kita harus dapat menjadi teladan yang baik untuk anak kita.
Banyak orangtua di zaman sekarang yang membiarkan anak-anak mereka menonton televisi tanpa batas. Tidak ada teguran, tidak pula contoh tauladan. Bahkan mereka juga ikut menonton televisi atau justeru sibuk bergosip.
Mereka membiarkan anak-anak mereka meninggalkan shalat. Membiarkan anak-anak mereka mencontoh gaya berpakaian orang-orang yang bebas. Membiarkan anak-anak mereka bergaul di luar tata kehidupan Islami. Membiarkan puteri-puteri mereka keluyuran di malam hari. Betapa tidak pedulinya para orang tua kepada anak mereka yang seharusnya mereka anggap sebagai mutiara.

Membangun Akhlak Generasi Muda Muslim adalah Membangun Karakter Bangsa

1. A. Dasar-dasar Pembinaan
Kehidupan beragama salah satu diantara sekian banyak sektor harus mendapatkan perhatian besar bagi bangsa dibandingkan dengan sektor kehidupan yang lain. Sebab pencapaian pembangunan bangsa yang bermoral dan beradab sangat ditentukan dari aspek kehidupan agama, terutama dalam hal pembinaan bagi generasi muda.[1]
Secara harfiah pembinaan berarti pemeliharaan secara dinamis dan berkesinambungan.[2] Di dalam konteksnya dengan suatu kehidupan beragama, maka pengertian pembinaan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai agama agar segala perilaku kehidupannya senantiasa di atas norma-norma yang ada dalam tatanan itu. namun perlu dipahami bahwa pembinaan tidak hanya berkisar pada usaha untuk mengurangi serendah-rendahnya tindakan-tindakan negatif yang dilahirkan dari suatu lingkungan yang bermasalah, melainkan pembinaan harus merupakan terapi bagi masyarakat untuk mengurangi perilaku buruk dan tidak baik dan juga sekaligus bisa mengambil manfaat dari potensi masyarakat, khususnya generasi muda.
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai secara maksimal, tetapi dalam pembinaan kesadaran yang menjadi hal pokok untuk dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.[3]
Unsur pemeliharaan dan dinamisasi menjadi sangat penting untuk mewujudkan suatu kontruksi pembinaan yang utuh dan hakiki. Hal inilah disebabkan karena wujud tatanan itu pada hakikatnya mengandung dua jenis nilai; nilai primer universal terus-menerus, sedangkan nilai sekunder local merupakan pengembangan dari hasil pemahaman nilai primer itu yang mana kondisi suatu tempat tertentu memberikan pengaruh terhadap pribadi seseorang.
Pencapaian tatanan nilai yang tidak jelas dalam hal tingkatan yang dikandung hanya akan kebingungan sehingga berakibat pada ketidaktahuan nilai perbuatan yang dilakukan sehari-hari. Bahkan dia akan menilai secara random bahwa perbuatannya itu benar dan sudah sesuai dengan norma dan aturan yang ada. Padahal apa yang dilakukannya adalah berbeda dari nilai dan norma tersebut.
Pemilikan nilai primer universal harus didahulukan sebelum mencapai nilai yang sekunder. Sebab di dalam nilai yang primer tersebut terkandung definisi-definisi tentang sesuatu yang baik dan yang buruk (yang harus dilakukan dan yang harus ditinggalkan) dan hal ini tidak terkandung dalam nilai sekunder tersebut. Sedangkan nilai sekunder hanya akan membuat suatu kejelasan tujuan terbentuknya tatanan nilai dengan jaminan tidak melampaui nilai primer.
Perpaduan dua nilai inilah dalam suatu tatanan akan menghilangkan kesan bahwa nilai primer itu hanya berfungsi sebagai ranjau-ranjau yang sangat berbahaya bagi orang-orang yang melaksanakannya, padahal dia membutuhkan sesuatu yang semuanya sudah diatur nilai primer yang dimilikinya.
Karena itulah pembinaan harus berwujud suatu konstruksi yang utuh dan hakiki yang mau tidak mau harus memasukkan dua unsur tersebut di atas ke dalam suatu tatanan nilai yang dilakukannya setiap saat, yaitu pemeliharaan dan dinamisasi. Dinamisasi dimaksudkan agar tatanan nilai tidak hanya berbentuk satu substansi searah akan menciptakan suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat, bahkan sia-sia belaka, sebab tidak ada tatanan yang mendukungnya dari aspek lain.
Dalam hal ini pembinaan dimaksudkan adalah pembinaan keagamaan yang mempunyai sasaran pada generasi muda, maka tentu aspek yang ingin dicapai dalam hal ini adalah sasaran kejiwaan setiap individu, sehingga boleh dikatakan bahwa pencapaiannya adalah memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dimaksudkan tidak karena ditentukan prototipitas tema pembahasannya, melainkan disebabkan karena sasaran yang diambil merupakan suatu pengelompokkan demografis yang gencar-gencarnya mengalami perubahan dan perkembangan psikologi kejiwaan anak.[4]
Dalam masa ini jatidiri dan sikap arogan masih sangat kuat untuk diperpegangi bagi generasi muda, sehingga memerlukan kehati-hatian yang ekstra ketat. Sehingga mampu menanamkan nilai-nilai dan konsep pembinaan, khususnya dalam hal pembinaan akhlak melalui ajaran tasawuf dalam merubah perilaku generasi muda dalam kehidupan sehari-hari.[5] Sebab tujuan utama dari pembinaan ini adalah memberikan arti ajaran tasawuf terhadap upaya pembinaan yang menimbulkan kesadaran diri akan nilai-nilai agama secara umum dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam perkembangan psikologi remaja dikatakan bahwa perkembangan psikologi remaja sedikit mempunyai pengaruh terhadap cara-cara penanaman dan pemahaman nilai agama. Hal ini diungkapkan oleh ahli psikologi remaja bahwa pada satu pihak remaja tidak begitu saja mampu menerima konsep-konsep, nilai-nilai suatu ajaran, apalagi ajaran yang membatasi diri seseorang, tetapi terkadang dipertentangkan dengan citra diri dan struktur kognitif yang dimilikinya.[6]
Pembinaan yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu ketentraman dan kedamaian di dalamnya.[7] Dan dari sinilah memunculkan kesadaran untuk mencari nilai-nilai yang mulia dan bermartabat yang harus dimilikinya sebagai bekal hidup dan harus mampu dilakukan dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-harinya saat ini untuk menyongsong kehidupan kelak, kesadaran diri dari seorang remaja sangat dibutuhkan untuk mampu menangkap dan menerima nilai-nilai spiritual tersebut, tanpa adanya paksaan dan intervensi dari luar dirinya.
Sedangkan pada pencapaian aspek materialnya ditekankan pada kegiatan kongkrit yaitu berupa pengarah diri melalui kegiatan yang bermanfaat, seperti organisasi, olahraga, sanggar seni dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dimaksudkan agar mampu berjiwa besar dalam membangun diri dari dalam batinnya, sehingga dengan kegiatan tersebut, maka tentu dia akan mampu memiliki semangat dan kepekatan yang tinggi dalam kehidupannya.[8]
Mengenai keterikatan pembina keislaman didasarkan pada lokasi dan daerah tertentu, tentu merupakan tantangan tersendiri dalam melakukan pembinaan, sebab pembinaan tersebut akan menemukan beberapa kendala. Namun aspek pembinaannya akan lebih terfokus dan terarah, bahkan akan memberikan ciri dan corak pembinaan tersendiri.
Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan kesejarahan dengan cara membuat fakta sejarah dari berbagai sumber tentang latar belakang sejarah yang ada di darah dimaksud dengan menampilkan fakta bahwa pemuda mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, terutama dalam mengusir penjajah dari belahan bumi Indonesia. Dan juga mampu menumpas segala pergerakan-pergerakan yang hendak menghancurkan Pancasila di bumi pertiwi.
Pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas, maka tentu akan memberikan semangat dan dorongan kepada generasi muda sebagai harapan bangsa. Dan memberikan semangat patriotisme kebangsaan yang juga dianggap sudah hilang dari dalam diri generasi yang saat ini. Penanaman semangat kepahlawanan memberikan nilai positif bagi generasi muda, sebab tentu akan membangun semangat dan menumbuhkan jiwa kepahlawanan, baik terhadap negara, agama maupun bangsa.[9]
Membangun jiwa kepahlawanan ke dalam diri generasi muda adalah salah satu unsur dalam melakukan pembinaan, dan pembinaan dapat terarah dan konstruktif. Sehingga perlu suatu kesadaran moral bahwa generasi muda adalah yang selalu mengambil peran dalam setiap langkah yang bermanfaat bagi bangsa dan agama, pada dasarnya mereka akan mengambil peranan dan terpanggil untuk berbakti sebagai suatu tuntutan,[10] baik tuntutan itu datang sebagai generasi bangsa maupun sebagai generasi agama.
Karena itu, suatu pembinaan adalah untuk konstruksi pembinaan itu sendiri yang utuh dan hakiki, sehingga dalam pembinaan harus mengambil suatu bentuk bagaimana seharusnya konstruksi itu dibangun dari dalam diri, sehingga mampu menghasilkan tindakan-tindakan islami yang praktis dalam melakukan kegiatan, baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Penciptaan moralitas Islam ini adalah merupakan suatu hal yang amat penting untuk memantapkan kehidupan keberagaman mereka, mereka akan menjadi mantap apabila sudah mengetahui secara benar nilai-nilai Islami, termasuk di dalamnya nilai-nilai kesufian yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang sudah di pahami sebelumnya.[11] Demikian pula dengan manfaat-manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Bahkan secara tidak langsung mereka akan memahami fungsi-fungsi keagamaan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan moralitas Islam pada setiap generasi muda Islam, harus ditempatkan pada nomor urut teratas dan menjadi skala prioritas suatu pembinaan. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa di tangan pemudalah tanggung jawab perwujudan realitas Islam. yang dimaksud realitas Islam adalah kegiatan-kegiatan yang mesti dan seharusnya dilakukan generasi secara konstruktif dan berkesinambungan dalam membangun jati diri dan perilaku yang baik.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mewujudkan realitas ini adalah mereka harus mempunyai tanggung jawab secara pribadi-pribadi atau secara terkoordinasi menjadi suatu kelompok berbuat dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kezaliman dan kejahatan pada setiap saat. Perintah tersebut sudah termaktub dalam Al-Qur’an QS. Al-Imran (3) : 110:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلاَ أَوْلاَدُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ هُمْ وَقُودُ النَّارِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka.[12]
B. Model Pembinaan Islam
Memahami suatu model bagi pembinaan Islam terlebih dahulu harus dipahami bagaimana konsep Islam mengenai kehidupan dimana pembinaan itu diarahkan. Bahkan tidak hanya sampai di sini, untuk bisa memahami konsepsi kehidupan beragama secara tepat dan efektif kita harus mengadakan kajian mendalam tentang apa yang sebenarnya nilai-nilai yang dikandung Islam dalam memberikan konsep kehidupan.
Karena itu, Islam memberikan suatu konsep mengenai kehidupan keagamaan dalam masyarakat, sehingga lahirlah dua dimensi. Pertama, dimensi mahdhah, yaitu berupa ajaran agama yang menuntun manusia untuk melakukan ibadah langsung dengan Allah swt. Kedua, dimensi ghairu mahdhah yaitu berupa ajaran agama yang mendorong manusia untuk bermuamalah dengan manusia lainnya.
Menurut Muhammad Assad, konsep Islam bagi suatu kehidupan dijelaskan bahwa Islam adalah program hidup sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan oleh Allah swt, atas penciptaannya berupa hasil yang dicapainya yang tertinggi ialah koordinasi yang sempurna dari pada aspek-aspek spiritual dan material kehidupan manusia.[14]
Program hidup merupakan suatu struktur dari aspek-aspek yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup itu sendiri untuk menuju suatu mencapai suatu kesempurnaan kehidupan agama. Aspek-aspek inilah yang dikenal dengan aspek kehidupan secara parsial, aspek-aspek kehidupan ini bekerja menurut hukumnya sendiri.
Maka nampaklah bahwa dalam kehidupan antara satu dengan yang lainnya seolah-olah saling berpisah, bahkan seolah-olah tidak ada benang merah yang menghubungkannya. Misalnya aspek kultural, aspek ini bekerja dalam hukum bahwa manusia mempunyai naluri berkehendak dan cara berpikir yang diwujudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan sepintas lalu aspek kultural ini tidak mempunyai keterkaitan dengan aspek yang lain seperti nilai-nilai relegius yang berdasarkan pada hukum bahwa di atas kekuasaan manusia itu masih ada kekuasaan yang lebih tinggi dan Maha tinggi. Tidak ada satupun kekuasaan yang menandinginya. Sehingga kalau demikian keadaannya, maka mungkinkah tujuan hakiki dari pada kehendak dan cara berpikirnya mencapai hasil, yang tidak lain hasil yang harus tercapai adalah terciptanya kehidupan manusia yang aman dan sejahtera.
Apabila dalam merealisasikan kehendak dan cara berpikir tanpa didasari oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa yang Maha Kuasa yang akan terwujud dalam diri manusia adalah sifat ketamakan belaka, kerakusan dan kebuasan manusia itu sendiri. Karena itu, di dalam mencapai kesempurnaan hidup ajaran Islam mencanangkan suatu program yang merupakan suatu totalitas yang mempunyai daya kompelektsitas dan mempunyai kemampuan untuk diajak bekerja sama antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya. Dengan program demikianlah itulah tujuan hidup sebenarnya akan betul-betul terjamin tercapai keselamatan di dunia.
Melihat program hidup yang merupakan suatu struktural dari berbagai aspek kehidupan yang secara parsial seolah-olah nampak berpisah-pisah, maka yang akan nampak adalah mengadakan pembinaan secara menyeluruh dalam kehidupan manusia. Dan pembinaan itu harus merupakan suatu pembinaan yang serupa, yaitu pembinaan yang islami.
Ironisnya adalah suatu hal yang sangat wajar apabila dalam pembinaan terdapat beraneka ragam rupa pembinaan kemudian tentu akan menghasilkan keganjilan-keganjilan pembinaan yang pada gilirannya eksistensi keberagaman menjadi akan kurang dan tidak berbekas dari dalam diri seseorang.
Dengan demikian pembinaan yang serupa inilah yang kita maksudkan bahwa pembinaan akan menjadi kompleks. Dengan titik tolak bahwa cara demikian mencapai tujuan dari pembinaan yang diidam-idamkan, yaitu berupa realitas Islam yang membawa kesuksesan manusia dalam mengarungi kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pembinaan untuk demikian itulah kita maksudkan salah satu cara untuk menciptakan konstruksi pembinaan yang utuh dan hakiki. Namun hal ini belum menyentuh pada bentuk yang kongkrit dalam keterikatan itu dengan suatu wilayah tertentu yang mana hal tersebut akan lebih mengefektifkan konstruksi pembinaan itu sendiri. Gambaran umum ini hanya dimaksudkan sebagai indikasi bahwa kompleksitas pembinaan merupakan satu hal yang mampu membentuk konstruksi pembinaan yang diharapkan
Berikut ini lebih jauh dapat dijelaskan aspek-aspek yang paling utama yang harus dicapai oleh setiap individu, seperti dua dimensi di atas, meliputi:
a) Dimensi Mahdah
Seperti yang telah kita ketahui di atas bahwa dimensi mahdah itu lahir setelah kita mengadakan kajian mendalam tentang konsepsi kehidupan menurut Islam, di samping lahir juga dimensi gairu mahdah. Dimensi mahdah ini dalam struktur tatanan nilai pada hakikatnya adalah nilai universal bagi setiap orang yang beragama.
Kemampuan menggunakan dimensi mahdah dalam segala perilakunya akan menciptakan seorang untuk menjadi muslim yang betul-betul beriman dan bertakwa. Sedangkan orang-orang yang betul-betul beriman dan bertakwa menurut Abu A’la Maududi adalah muslim yang membuat aspek dari segala kehidupannya untuk sepenuhnya mengabdi kepada Allah swt, seluruh hidupnya adalah yang penuh dengan ketaatan dan ketundukan, kepasrahan diri dan sekali-kali tidak akan bersikap arogan atau mengikuti kemauannya sendiri yang di dalamnya ada dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia.
Kalau melihat keterangan al-Maududi tersebut, maka menjadi jelaslah bahwa pada intinya kemampuan penguasaan dan kepatuhan kepada Allah swt, adalah iman kepada Allah. Dan lebih lanjut al-Maududi mendefinisikan bahwa iman itu bukan suatu konsep mata fisikal belaka, melainkan iman adalah corak suatu perjanjian dengan Allah sang pencipta, dan menukar kehidupan dirinya dengan rahmat dan kehendak Allah swt.
Oleh karena itu, dengan dasar penguasaan dimensi mahdah ini orang akan membuang jauh-jauh terhadap sifat-sifat manusiawinya yang tercela menggantikannya dengan sifat-sifat yang terpuji sebagai refleksi dari keimanan yang mendalam. Adapun hasil optimal dari penguasaan keimanan tersebut adalah melahirkan kesadaran yang besar dalam menjalankan perintah-perintah Allah swt dan mampu menjauhi larangan-larangan agama secara sadar.
b) Dimensi gairu mahdah
Dimensi gairu mahdah pada dasarnya hanya merupakan pengembangan dari penguasaan dimensi pertama yaitu dimensi mahdah, dan merupakan hasil dari pembekalan nilai sekunder lokal semata. Setelah itu kita mempunyai kesadaran untuk menjalankan ajaran-ajaran pokok agama dalam Islam berupa kegiatan mahdah, berupa shalat, puasa, haji, sadaqah, dan sebagainya.
Gambaran tersebut merupakan hasil penguasaan dimensi mahdah, dimana kita harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk memahami apa sebenarnya nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah mahdah dan hikmah yang dapat diperoleh manusia, sebab untuk memahami tersebut perlu hikmah, sehingga manusia mampu menangkap dibalik perintah tersebut.
Demikian pula dalam upaya membentuk kepribadian seseorang atau proyeksi program hidup kemanusiaan. Usaha pengembangan ini harus diusahakan mencapai tingkat setinggi-tingginya agar mampu melayani segala kebutuhan manusia. Dimensi ghairu mahdah dalam struktur tatanan nilai kita di sebut dengan nilai sekunder lokal.
Secara kongkritnya bahwa suatu aktivitas kemanusiaan sebagai hasil penguasaan dimensi mahdah dengan pembekalan nilai sekunder sangat banyak dipengaruhi oleh kondisi lokal yang ada. Dan ditentukan bentuknya oleh sistem sosial dan budaya wilayah tertentu. Misalnya dalam situasi umat Islam mengalami kelumpuhan dengan diperkosanya hak-hak asasinya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Maka tentu diperlukan perjuangan yang tidak sedikit dalam membangun nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam.
Perjuangan ataupun gerakan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari belenggu kezaliman sebagai suatu amalan ibadah disisi Allah swt, sesuai perintah dalam Al-Qur’an untuk memperjuangkan segalanya di jalan Allah swt, QS al-Hajj (22) : 78
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Terjemahnya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.[15]
Amalan seperti tersebut di atas, merupakan hasil dari pemahaman nilai primer tadi yang sudah dikembangkan dalam diri manusia. Yang berupa amalan-amalan yang sudah ditetapkan dalam ajaran Islam sebagai cara untuk memotivasi umatnya untuk mampu bekerja keras dalam merubah hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih baik.[16]
Namun akan berbeda pula sekiranya seseorang yang sudah berada dalam wilayah yang sudah dilindungi hak-hak kemanusiaannya untuk beribadah dan melakukan kegiatan-kegiatan agama lainnya. Sekalipun berada dalam wilayah dimaksud tetapi tetap memerlukan suatu perjuangan yang besar oleh setiap individunya, sebab perlindungan hak asasi yang sudah diberikan, bukan jaminan seseorang untuk terhindar dari pengaruh budaya melalui sistem komunikasi secara internasional, yang sewaktu-waktu mampu menguasai kita.
Karena itu, dalam menghadapi situasi ini, yang harus dilakukan adalah aktivitas yang diwujudkan dalam propaganda secara besar-besaran untuk senantiasa menghargai dan menunjang tinggi budaya sendiri yang sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam (nilai primer).
Pembinaan yang mempunyai materi doktrin dengan dimensi mahdah dan ghairu mahdah tersebut merupakan suatu kerangka dalam membangun model pembinaan yang lebih efektif bagi generasi muda bangsa. Sebab dengan memberikan sentuhan dua dimensi tersebut di atas, berupa ibadah mahdah yaitu kewajiban mutlak yang harus dipahami (ibadah kepada Allah), dan ghairu mahdah yaitu kewajiban untuk menselaraskan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
C. Materi Pembinaan Islam
Materi yang dipergunakan dalam pembinaan ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari dimensi kedua yaitu dimensi ghairu mahdah. Penekanannya pada suatu nilai saja yang ada dimensi ghairu mahdah tersebut. Bukan berarti di luar dari dimensi tersebut dianggap lebih utama dan sudah tidak penting lagi.
Namun penentuannya didasarkan pada suatu asumsi bahwa nilai-nilai yang dikandung pada dimensi mahdah sudah tetap dan tidak akan ada perubahan apapun di dalamnya, bahkan sudah menjadi fitrah utama dalam kehidupan manusia untuk menjalankannya sesuai apa yang disyariatkan dalam Al-Qur’an. Seperti yang disebutkan pada QS al-Ruum (30) : 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.[17]
Karena itu, dimensi mahdah menjadi mutlak dan posisinya sudah kuat, dalam arti tidak boleh dikesampingkan. Apalagi kalau dikaitkan dengan pembinaan generasi muda. nilai-nilai yang utama itulah yang seharusnya mendapat perhatian dan pemeliharaan terus menerus, sedangkan nilai yang harus dikembangkan sedemikian rupa sebagai dinamisasi budaya yang harus dijalankan menurut ajaran utamanya.
Materi pembinaan merupakan usaha untuk mendapatkan kerangka acuan bagaimana seharusnya materi pembinaan yang harus dikembangkan dalam pembinaan akhlak generasi muda. dengan pendekatan nilai-nilai tasawuf. Demikian pula dengan aspek generasi mudanya yang tidak bisa dilepaskan dari generasi bangsa dan tumpuan negara. Mawasdi Rauf menilai bahwa kepeloporan pemuda merupakan hal yang biasa dalam suatu bangsa, tetapi senantiasa memerlukan perhatian dari semua pihak.[18]
Melalui pertimbangan sejarah tersebut di atas, para generasi muda Islam harus digembleng untuk selalu mengembangkan tugas kepeloporan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang agamis sesuai dengan nilai-nilai Islam. dalam hal materi pembinaan generasi muda, maka sudah tentu aplikasinya adalah membangun patriotisme kebangsaan di dalam diri generasi muda. beberapa diantara yang harus dibebankan pada generasi muda, antara lain : tanggung jawab pemuda dalam memikul amanat agama dan bangsa.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin pada dasarnya adalah menjadikan bagi para penganutnya sejahtera dalam kehidupan dunia, memiliki tanggung jawab, baik dalam hal menjaga lingkungan dan alam, maupun dalam menjaga sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu contohnya yaitu dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk berakhlak mulia sebagai bagian dari menjaga sikap dalam berhubungan dengan orang lain. Salah satu contohnya yaitu dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk berakhlak mulai sebagai bagian dari menjaga sikap setiap individu agar memiliki moral dan akhlak.
Karena itu, sikap yang harus dibina bagi generasi dan secara umum manusia adalah memelihara relation ship (hubungan) antara manusia dengan manusia lainnya. Dan untuk melakukan pemeliharaan tersebut manusia diharapkan berpedoman pada nilai-nilai Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Tanggung jawab yang diemban oleh generasi muda sangat besar, diantaranya yaitu meneruskan perjuangan risalah agama Islam. sebagai generasi muda Islam, tentu dalam segala aktivitas dan perilakunya diharapkan mencerminkan nilai-nilai Islam, baik sebagai pencari jatidirinya maupun sebagai kelompok anak didik.
________________________________________
[1]Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , (Cet, IV; Jakarta PT. Bulan Bintang, 1982), h. 12.
[2]Departemen Pendidikan dan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Jakarta Press, 1995), h. 504.
[3]Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet, I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 199.
[4]Zakiah Daradjat, op.,cit,. h. 44.
[5]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Cet, I; Jakarta : Prameda Media, 2003), h. 218.
[6]Netty Hartati, op.,cit., h. 63.
[7]Andi Mappiare, Psikologi Remaja, (Surabaya : Usaha Nasional, 1984), h. 68.
[8]Netty Hartaty, M.Si. (et.al.) Islam dan Psikologi, (Cet. I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2004), h. 441.
[9]Ahmadi, Idiologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 160.
[10]Ibid., h.
[11]Zakiah Daradjat, op.,cit, h. 113.
[12]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 2000), h. 41
[13]Quraish Shihab, Memberikan Al-Qur’an (Cet, XV; Bandung : Mizan, 1997), h. 185.
[14]Departemen Agama RI, op.cit., h.241
[15]Quraish Shihab, op.cit., h. 507.
[16]Departemen Agama RI, op.cit., h.341
[17]Mawasdi Rauf, Pandangan Mereka Tentang Sejarah Pemuda Indonesia “Forum Pemuda, No. 62. Vol. VI Tanggal 11 Februari 1989.

http://meethabie.wordpress.com/2009/0/30/pembinaan-akhlak-generasi-muda-2/






2. ( a ) Perbedaan dan persamaan antara pengajaran akhlak dan pendidikan akhlak :
 perbedaan antara pengajaran akhlak dengan pendidikan akhlak adalah
pengajaran akhlak hanya berdasarkan teori yang diberikan kepada
seorang anak, sedangkan pendidikan akhlak tidak hanya berdasarkan
kepada teori saja, tetapi seorang anak juga diberikan pendidikan
tingkah laku dan perbuatan.
 persamaan antara pengajaran akhlak dengan pendidikan akhlak adalah
sama-sama memiliki tujuan untuk mendidik seorang anak agar memiliki akhlak yang mulia.

( b ) Perbedaan dan Persamaan antara akhlak social dan kesalehan social :
 perbedaan antara akhlak social dengan keshalehan social adalah jika akhlak social adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya dan perbuatannya itu dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian, sedangkan keshalehan social dalam islam sesungguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan social ( a faith of social action ). Indikator keshalehan social tersebut adalah adanya penyempitan ruang gerak bagi tumbuh berkembangnya kemungkaran dan kezaliman social, baik dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia ( exploitation man by human being ).
 Persamaan antara akhlak social dan keshalehan social adalah diantara keduanya saling memiliki keterkaitan, keduanya timbul dari dalam diri orang yang melakukannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

( c ) Perbedaan dan persamaan antara moral bangsa dan bangsa bermoral :
 Perbedaan antara moral bangsa dengan bangsa bermoral adalah moral bangsa ruang lingkupnya hanya mencakup di dalam bangsa itu sendiri, sedangkan jika bangsa bermoral, erat kaitannya dengan hubungan suatu bangsa dengan bangsa lain.
 Persamaan antara moral bangsa dengan bangsa bermoral adalah sama-sama memiliki moral atau tingkah laku yang baik dan sama-sama menggunakan norma yang tumbuh serta berkembang dan berlangsung di masyarakat.
( d ) Perbedaan dan persamaan antara asusila dan tidak bermoral :
 Perbedaan asusila dengan tidak bermoral adalah asusila merupakan suatu perbuatan yang keluar dari norma atau nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.
 Persamaan asusila dengan tidak bermoral adalah keduanya sama-sama tidak memiliki dasar, prinsip, peraturan atau norma hidup yang baik.



3. ( a ) Kepribadian Muslim
Kepribadian muslim adalah sikap atau tingkah laku sehari-hari yang timbul dari dalam diri seorang muslim itu karena hubungannya dengan Allah atau ibadah yang dia lakukan sehingga menimbulkan sikap atau kepribadian seorang muslim yang baik pada dirinya.
( b ) Karakter Muslim
Karakter muslim adalah sifat atau karakter yang ada dalam diri seorang muslim yang timbul karena factor lingkungan dan hubungannya kepada sesama muslim sehingga dalam dirinya tumbuh suatu sikap maupun sifat baik yang pada umumnya dimiliki oleh para muslim sekitarnya atau sebagian besar muslim yang ada.
( c ) Akhlak Islami
Akhlak Islami adalah suatu siakp atau tingkah laku yang memang sudah diajarkan dalam Islam yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama Islam atau setiap orang yang muslim agar dapat menunjukkan atau mencerminkan keislamannya itu di dalam kehidupannya.
( d ) Integritas Moral
Integritas moral adalah tingkah laku secara menyeluruh atau tingkah laku yang dapat menyatu dengan lingkungan masyarakatnya.

4. ( a ) Mengembangkan Diri
Peluang :
 Peluang saya dalam mengembangkan diri adalah dengan kepercayaan diri yang saya miliki, sehingga saya dapat dengan bebas menyalurkan aspirasi yang ada di dalam benak saya dan dapat menyalurkan aspirasi saya dengan baik. Selain itu, saya juga mendapat kesempatan dan juga memiliki pergaulan yang baik sehingga saya dapat mengembangkan diri dengan baik.
Hambatan :
 Hambatan saya dalam mengembangakan diri adalah rasa malas untuk mengembangkan diri sendiri sehingga kemampuan saya tidak dapat di manfaatkan dengan baik.
( b ) Menjaga Kesucian Hati
Peluang :
 Peluang saya dalam menjaga kesucian hati adalah saya dapat menjaga kepercayaan ataupun amanah yang telah diberikan orang lain kepada saya sehingga hati saya dapat terjaga dari hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit hati.
Hambatan ;
 Hambatan yang saya rasakan dalam menjaga kesucian hati adalah sifat saya yang sulit untuk mengendalikan emosi, sehingga dengan sifat yang ada dalam diri saya tersebut, saya menjadi orang yang mudah marah ataupun mudah tersinggung.

( c ) Mengembangkan Kepribadian Muslim
Peluang :
 Peluang yang saya miliki dalam mengembangkan kepribadian muslim adalah dengan cara lebih mendekatkan diri kepada Allah, baik dengan cara melakukan ibadah yang wajib dilakukan maupun dengan mengerjakan ibadah yang sunnah untuk dilakukan. Dengan menjalankan ibadah tersebut, akan muncul kepribadian muslim dalam diri seseorang.
Hambatan :
 Hambatan yang saya rasakan dalam mengembangkan kepribadian muslim adalah rasa malas untuk mengembangkan diri sendiri, sehingga hal tersebut berpengaruh dalam mengembangkan kepribadian muslim dalam diri saya.
( d ) Mewujudkan Kesalehan Sosial
Peluang :
 Peluang saya dalam mewujudkan kesalehan social adalah mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di lingkungan tempat saya tinggal, dan adanya kesadaran dalam diri saya untuk berbaur dengan masyarakat luas, sehingga dengan begitu akan muncul kesalehan social dalam diri saya karena hal yang saya lakukan tersebut timbul dalam diri sendiri, tanpa ada paksaan ataupun tekanan dari luar.
Hambatan :
 Hambatan saya dalam mewujudkan kesalehan social adalah sulitnya nagi saya untuk mencegah kemungkaran dan kezaliman social dalam masyarakat.

Penamaan surat al-fatihah,istiadzah, dan tafsir basmalah

A. PENAMAAN SURAT AL-FATIHAH
Surat Al-Fatihah memiliki banyak nama. Tidak kurang dari dua puluh nama yang disandangkan pada surat ini. Namun dari sekian banyak nama tersebut hanya ada empat nama yang diperkenalkan oleh Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya:
اَلْحَمْدُللهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَ أُمُّ الْكِــتَابِ وَ السَّبْـــعُ الْمَـــثَانِيْ
Artinya: Al-Hamdu Lillah adalah Ummul-Qur’an (Induk Alquran), Ummul-Kitab (Induk Al-Kitab), dan Al-Sab’ al-Matsani (Tujuh ayat yang di ulang-ulang.
Dalam sebuah Hadits Qudsi juga disebutkan, bahwa Allah berfirma:
قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ، وَ لِعَبْدِيْ مَا سَــأَلَ. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِيْ عَبْدِيْ ...
Artinya: Aku membagi Shalat (surat Al-Fatihah) kepada dua bagian di antara Aku dengan hamba-Ku; dan hamba-Ku memperoleh bagian apa yang dimintanya. Bila hamba-Ku membaca الحمد لله رب العالمين , maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. ...
Kedua Hadits di atas menyebutkan empat macam nama surat Al-Fatihah, yaitu: Ummul-Kitahb, Ummul-Qur’an, Al-Sab’ al-Matsani, dan Ash-Shalah. Penamaan Al-Fatihah disebutkan dalam Hadits,
لاَ صَلاَ ةَ لِمَنْ لَّمْ يَقْرَأْ بِــفَاتِحَةِ الْكِـــتَابِ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Tidak ada (tidak sah) shalat bagi yang tidak membaca Fatihah al-kitab (surat Al-Fatihah).
Penamaan surat ini dengan Al-Fatihah (pembuka) karena ia terletak di awal Alquran, sebagai surat pertama dalam susunan Mushhaf Alquran. Sedangkan penamaannya dengan Ummul-Qur’an atau Ummul-Kitab (Induk Alquran/Al-Kitab) adalah karena kandungan ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah mencakup kandungan tema-tema pokok semua ayat yang ada dalam keseluruhan Alquran.
Adapun penamaannya dengan Al-Sab’ al-Matasani (tujuh ayat yang berulang-ulang) mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, karena ia merupakan satu-satunya surat yang paling banyak diulang-ulang dalam membacanya, terutama dalam shalat. Paling tidak, setiap muslim harus membacanya 17 kali dalam 17 rakaat shalat fardhu. Kedua, penamaan dengan Al-Sab’ al-Matsani karena ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah ini dulang-ulang lagi penyebutannya pada surat-surat yang lain dalam Alquran.
Nama-nama lain yang kadangkala juga disandangkan pada surat Al-Fatihah, namun diriwayatkan dari hadits-hadits yang dinilai kurang kuat, adalah: Al-Qur’an al-‘Azhim (Al-Quran yang Agung), Al-Syifa’ Penyembuh), Al-Ruqyah (Mantra), Al-Asas (Pokok/Pangkal), Al-Wafiyah (Yang Memenuhi), dan Al-Kafiyah (Yang Mencukupi) [Al-Qurthuby, I, hal. 12]
C. ISTI’ADZAH/TA’AWWUDZ
Isti’adzah atau Ta’awwudz adalah bacaan أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ atau bacaan sejenis lainnya yang mengandung makna mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan.
Arti pentingnya pembicaraan tentang ta’awwudz sebelum membicarakan surat Al-Fatihah atau surat-surat lainnya dalam Alquran, karena melihat, bahwa Suart Al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran. Bahkan karena ia merupakan surat pertama yang tertulis dalam mushaf Alquran. Sedangkan membaca ta’awwudz merupakan perintah Allah bagi setiap orang yang akan membaca Alquran.
Disyari’atkannya bacaan ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu telah membaca Alquran maka berlindunglah kepada Allah dari gangguan syeithan yang terkutuk (An-Nahl/16: 98)
1. Hukum Membaca Isti’adzah, Saat Akan Membaca Alquran
Pada surat An-Nahl/16: 98 disebutkan perintah membaca Isti’adzah dalam bentuk Fi’il Amr. Hal ini berarti bahwa membaca isti’adzah hukumnya wajib. Namun, menurut pendapat jumhurul ulama, perintah membaca ta’awudz pada ayat di atas hukumnya sunnah pada setiap kali akan membaca Alquran di luar shalat. Sedangkan membaca ta’awwudz sebelum Al-Fatihah di dalam shalat masih diperselisihkan oleh para ulama. Di antaranya:
a. Menurut Imam ‘Atha’ hukumnya wajib, baik di luar shalat maupun di dalamnya; sedangkan ulama yang lain mengatakan tidak wajib. Ada beberapa alasan yang dikemukan Imam ‘Atha’:
Pertama karena Nabi selalu membacanya setiap kali akan membaca Alquran; Kedua, bentuk fi’il amr (فاستعذ) pada surat An-Nahl ayat 98 mengandung makna wajib; Ketiga, tujuan membaca ta’awwudz adalah untuk menghidari gangguan setan, dan hal ini adalah wajib. Karena itu membaca ta’awwudz menjadi wajib. Keempat, membaca ta’awwudz merupakan bentuk kehati-hatian (Ihthiyath). Sedangkan berhati-hati itu adalah wajib.
b. Ibnu Sirin dan An-Nakha’i, serta beberapa ulama lainnya membaca ta’awwudz pada setiap raka’at dalam shalat. Hal ini mengikuti bentuk umum perintah membaca ta’awwudz pada ayat di atas. Namun menurut Ibnu Sirin, apabila seseorang membaca ta’awwudz satu kali saja seumur hidupnya maka gugurlah kewajibannya dalam membaca ta’awwudz.
2. Lafazh Bacaan Isti’adzah:
a. Berdasarkan redaksi surat An-Nahl: 98 lafazh bacaannya adalah أعوذ بالله من الشيطان الرجيم Redaksi inilah yang dipakai oleh sebagian besar ulama.
b. Dalam Hadits riwayat Ahmad disebutkan, bahwa Rasulullah membaca isti’adzah dengan redaksi,
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم من همزه ونفخه ونفثه
(Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaannya, kesombongannya, dan keangkuhannya)
c. Dalam riwayat Sulaiman bin Salim yang dinukil dalam Tafsir Al-Qurthuby disebutkan redaksi sebagai berikut:
أعوذ بالله العظيم من الشيطان الرجيم إن الله هو السميع العليم. Atau
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم .
Redaksi yang terakhir ini memadukan surat An-Nahl: 98 dengan Al-A’raf: 200
3. Faedah Bacaan Isti’adzah
Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya mengutif beberapa hadits tentang keutamaan membaca isti’adzah. Antara lain:
a. Menghilangkan Amarah : Sabda Rasulullah Saw.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صَرْدٍ قَالَ: اِسْتَبَّ رَجُلاَنِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَعَلَ أَحَدُهُمَا يَغْضَبُ وَ يَحْمَرُّ وَجْهُهُ وَ تَنْتَفِخُ أَوْدَاجُهُ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّيْ لَأُعَلِّمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ ذَاعِنُهُ أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. (رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
Dari Sulaiman bin Shard, ia berkata: Dua orang laki-laki bertengkar di hadapan Rasulullah Saw. Salah seorang di antaranya mulai marah dan wajahnya menjadi merah, Nabi melihat kepadanya lalu bersabda, “Aku akan mengajarkan suatu kalimat yang apabila dibaca maka akan hilang (setan) yang mempengaruhinya itu, yaitu bacaan أعوذ بالله من الشيطان الرجيم .
b. Menghilangkan Gangguan Setan: Sabda Rasulullah Saw.
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِيْ الْعَاصِ الثَّقَفِيَّ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ صَلاَتِيْ وَقِرَاءَتِيْ يَلْبَسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبُ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفُلْ عَنْ يَسَارِكَ ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ، فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّيْ. (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Usman bin Abi al-Ash al-Tsaqafy, bahwasanya ia mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya setan telah menghalangi antara aku dengan shalat dan bacaanku”. Maka Rasulullah menjawab, “Itulah setan yang bernama Khanzab, kalau kamu merasakan gangguannya, berlindunglah kepada Allah darinya [dengan membaca ta’awwudz] dan (setelah itu) meludah ke samping kiri tiga kali”. Usman berkata:, “Lalu akau melakukannya, dan Allah menjauhkan setan itu dariku”. (H. R. Muslim).
c. Melindungi Diri dalam Perjalanan: Sabda Rasulullah Saw.
عن ابن عمر قال: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ اللَّيْلُ قَالَ: “يَا أَرْضُ ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّكَ وَمِنْ شَرِّ مَا خُلِقَ فِيْكَ وَمِنْ شَرِّ مَا يَدُبُّ عَلَيْكَ وَمِنْ أَسَدٍ وَأَسْوَدَ وَمِنَ الْحَيَّةِ وَاْلعَقْرَبِ وَمِنْ سَاكِنِي اْلبَلَدِ وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ”. (رواه أبو داود)
Artinya: "Dari Ibnu Umar, ia berkata: Apabila Rasulullah kemalamam dalam perjalanan, beliau berdo’a, “Wahai bumi! Tuhanmu dan Tuhanku adalah Allah, Aku berlindung kapada Allah dari kejahatanmu, dari kejahatan makhluk yang ada padamu, dari kejahatan binatang melata, dari gangguan singa-singa, ular, dan kalajengking; dari penghuni negeri dan dari induk beserta anak-anaknya.” (H. R. Abu Daud)
BASMALAH
Kalimat/bacaan بسم الله الرحمــن الرحيم disebut basmalah (بسمــلة) . Ada dua persoalan berkaitan dengan lafazh basmalah ini: Pertama, mengenai kedudukannya, apakah ia merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, atau tidak? Kedua, menyangkut makna yang terkandung di dalamnya.
1. Kedudukan Basmalah dalam Surat Al-Fatihah
Apakah Basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan? Pertanyaan ini banyak menyita perhatian para ulama yang hingga saat ini belum menemukan kata sepakat. Namun, mengenai kedudukan Basmalah sebagai baghian dari ayat-ayat Alquran, semua ulama sepakat bahwa lafazh بسم الله الرحمن الرحيم merupakan bagian dari Alquran. Paling tidak, ia merupakan bagian dari Surat An-Naml/27 ayat 30, إنه من سليمن وإنه بسم الله الرحمن الرحيم.
Perbedaan pendapat terjadi mengenai lafazh basmalah yang terletak di awal surat Al-Fatihah. Apakah ia merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan?.Dan para ulama bersepakat bahwa ia (bismillah) merupakan salah satu ayat dari surah an-Naml. Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah itu ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, atau merupakan bagian awal dari masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya. Ataukah juga merupakan salah satu ayat dari setiap surat atau bagian dari surat al-Fatihah saja dan bukan surat-surat lainnya. Ataukah basmalah yang ditulis dimasing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat saja, dan merupakan ayat. ada beberapa pendapat dikalangan ulama baik salaf maun khalaf, dan bukan disini tempat unuk menjelaskan itu semua.

وفي سنن أبي داود بإسناد صحيح، عن ابن عباس، رضي الله عنهما، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان لا يعرف فصل السورة حتى ينـزل عليه ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) وأخرجه الحاكم أبو عبد الله النيسابوري في مستدركه أيضًا

Dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad Shahih, dari Ibnu Abbas radhiAllahu’anhuma, bahwasannya Rasulullah saw tidak mengetahui pemisah surat al-Qur’an sehingga turun kepadanya { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}, dan dikeluarkan juga oleh Imam Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dalam Kitab Mustadraknya.
Diantara ulama yang mengtakan bahwa basmalah adalah ayat dari setiap surat kecuali at-Taubah, yaitu Ibnu Abbas, ‘Umar, Ibnu az Zubair, Abu Hurairah, ‘Ali. Dan kalangan tabi’in ‘Atha, Thawus, Sa’id bin Jubair, Makhul dan az Zuhri.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak, Imam asy-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawaih, Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah beserta para pengikutnya berpendapat bawa basmalah itu bukan merupakan ayat dari surah al-Fatihah, tidak juga surat-surat lainnya. Nmaun menurut Dawud, basmalah terletak pada awal setiap surat dan bukan bagian darinya. Demikian pula menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dikeraskan bacaannya) termasuk bagian dari perbedaan pendapat diatas. Mereka berpendapat bahwa basmalah itu bukan ayat dari surah al-Fatihah, maka ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengtakan bahwa basmalah adalah suatu ayat yang ditulis pada awal setiap surat.
Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa basmalah termasuk bagian dari setiap surat, masih berbeda pedapat. Imam Asy Syafi’i, berpendapat bahwa basmallah itu dibaca secara jahr bersama al-Fatihah dan juga surat al-Qur’an lainnya. Inilah madzhab beberapa sahabat dan tabi’in serta para imam, baik salaf maupun khalaf.

وفي صحيح البخاري، عن أنس بن مالك أنه سئل عن قراءة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: كانت قراءته مدا، ثم قرأ ( بسم الله الرحمن الرحيم ) يمد بسم الله، ويمد الرحمن، ويمد الرحيم

Dalam kitab sahih Bukhori, diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan dari Nabi saw, maka ia menjawab: bahwasannya bacaan beliau itu sesuai dengan panjang dan pendeknya, kemudian Anas membaca “bismillahirrahmanirrahim” dengan memanjangkan bismillah, kemudian “ar-rahmaan dan ar-rahiim.
Dalam Musnad Ahamd, Sunan Abu dawud, Shahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata Rasulullah saw memutus-mutus bacaannya, bismillahirrahmanirrahii, alhamdulillahir rabbil ‘alamin , ar-rahmanir rahiim, maliki yaumiddin. Dan Imam ad-Daruqutni berkata : “sanad hadist ini shahih.”
Dan ulama lainnya berpendapat bahwa basmallah tidak dibaca secara jahr didalam shalat. Inilah riwayat yang benar dari empat Khulafaur Rasyidiin, Abudullah bin Mughaffal, beberapa golongan ulama salaf maupun khalaf. Hal ini juga menjadi pendapat Abu Hanifah, atz-Tsauri, dan Ahmad Bin Hanbal.

2. Makna yang Terkandung Dalam Basmalah
Frase (ungkapan) ini terdiri dari tiga kata, yaitu: بِ (dengan) ِاسْم (nama) dan اللهِ (Allah). Dalam kata بِ (dengan) mengandung satu kalimat yang tersirat – walaupun tidak diucapkan dan tidak tertulis namun makna kalimat itu muncul di dalam benak/pikiran ketika seseorang mengucapkan (membaca) kata بِ (dengan). Kalimat tersebut adalah “aku memulai”. Dengan demikian, ungkapan Bismillah mengandung makna “aku memulai (sesuatu perbuatan) dengan nama Allah.
Dalam Kitab Alquran dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI, بسم الله الرحمن الرحيم diartikan, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Dalam terjemahan ini kata الرحمن diartikan “Maha Pemurah” dan kata الرحيم diartikan “Maha Penyayang”. Demikian kesan yang muncul ketika kita membaca terjemahan tersebut. Pengertian seperti ini dirasakan masih kurang mewakili makna mufradat dari kedua kata tersebut. Karena keduanya berasal dari akar kata yang sama, yaitu kata yang terdiri dari huruf-huruf ر , ح , م (رَحِمَ – يَرْحَمُ – رَحْمَةً).
Menurut Al-Maraghy, kata rahmah mengandung makna “kondisi mental yang membangkitkan kemauan pemiliknya untuk berbuat baik kepada pihak lain”. Dengan demikian, jika dikatakan Allah memiliki sifat ar-Rahman dan ar-Rahim berarti Allah selalu berkemauan untuk berbuat baik kepada makhluk-Nya; Allah memiliki sifat Kasih-sayang kepada makhluk-Nya.
Perbedaan makna ar-rahman dengan ar-rahim terletak pada ruang lingkup obyek yang dikasih-sayangi-Nya dan kontinyuitas sifat Kasih-sayang tersebut. Karena itu, ar-Rahman berarti Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada seluruh hamba-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir – hal ini terjadi selama hidupnya di dunia; karena di akhirat nanti Allah hanya akan belaskasihan terhadap hamba-Nya yang mukmin, sedangkan hamba-Nya yang kafir akan disiksa. Demikian pula makna ar-Rahim yang berarti Allah Maha Pengasih dan Penyayang, secara terus menerus, langgeng, kepada hamba-Nya yang mukmin mulai dari dunia sampai di akhirat nanti. Sebagaimana dijelaskan dengan firman-Nya:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Artinya:"Dialah (Allah) yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), sehingga Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan Dia Maha Kasih-sayang kepada orang-orang mukmin” (Q.S. Al-Ahzab/33: 43).
Dari penjelasan di atas maka pengertian بسم الله الرحمن الرحيم adalah “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada seluruh hamba-Nya di dunia; juga Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya yang mukmin di akhirat.

Pengertian, Ciri-ciri, Dan Kehujahan Hadits Shahih, Hasan, Dhaif

I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيم= orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadist yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.



I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadits shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadits menempuh tata kerja sebagai berikut;
1. Mencatat semua periwayat yang diteliti,
2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat,

b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.

c. Perawinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
1. kesaksian para ulama
2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.

d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.

e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.

I.3. Pembagian Hadits Shahih
Para ahli hadits membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih.
a. Hadits Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadits Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.

I.4 Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.


I.5 Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga, ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.


II. HADITS HASAN
II.1 Pengertian Hadits Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
1. definisi al- Chatabi: adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.

II.2 Macam-Macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadits hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

II.3 Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.


III. HADITS DHAIF
III.1 Definisi Hadits Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
• Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
• Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.


• Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”


3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
 Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
 Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
 Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
 Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.















KESIMPULAN

• Hadits Shahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih adalah hadist yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijma’ dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
• Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
• Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadis daif yaitu hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan. Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

Minggu, 06 Juni 2010

dakwah adalah kemampuan yang harus di asah

Sering kita menemukan seorang kader dakwah yang tidak bisa mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Dia baik, tapi tidak bisa menebar kebaikan pada lingkungannya. Dia shaleh, tapi dia tidak bisa menshalehkan orang-orang di sekitarnya.

Kita sering menemukan seorang kader dakwah yang tidak bisa mempengaruhi perilaku buruk kawannya. Bukan karena dia tidak tahu itu buruk, bukan pula karena dia takut memberi peringatan. Tetapi sering kali alasannya simpel, dia tidak tahu bagaimana melakukannya.

Mungkin di antara kejadian berikut sering terjadi di antara kita.

  1. Di waktu shubuh, kita terbangun dan berangkat menuju Masjid untuk shalat berjamaah. Namun kita tidak membangunkan orang yang kamarnya berada di samping kita. Pun kita juga tidak membangunkan bapak kos kita, misalnya, untuk mengajak bersama-sama ke Masjid.
  2. Di waktu ujian, ada teman kita menyontek. Kita tahu mereka menyontek, bahkan kita tahu sejak sebelum mereka menyontek, karena dia sudah menyatakannya demikian. Kita tidak menegurnya.
  3. Di kelas, ada kawan wanita kita yang mengenakan pakaian tidak wajar karena terlalu banyak membuka auratnya. Kita hanya bisa membuang pandangan, dan tak melakukan apa-apa lagi.

Pada peristiwa pertama, kita tidak membangunkan serta mengajak orang-orang di sekitar kita untuk pergi ke Masjid, bukan karena tidak mau. Bukan pula karena takut. Apalagi hanya karena kita tidak tahu besarnya pahala mengajak orang lain shalat Shubuh berjamaah di Masjid. Kita hanya tidak tahu bagaimana caranya, bagaimana mengatakannya, bagaimana mengajaknya. Kita tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika orang yang kita ajak berkilah dan menolak ajakan kita. Atau mungkin kita bahkan mengkhawatirkan pendapat mereka tentang kita, karena sudah mengganggu waktu tidurnya.

Pada peristiwa kedua, mungkin kita menegurnya khawatir pertemanan yang sudah dijalin selama ini retak karena teguran kita. Atau mungkin kita khawatir disebut sok suci karena melarang dia mencontek. Atau mungkin karena kita khawatir dijauhi olehnya dan oleh teman yang lain karena dianggap sok pinter sendiri. Yang pasti, bukan karena kita tidak tahu bahwa mencontek adalah sebuah kebohongan, cikal bakal perilaku korupsi, dan dalam konteks kampus dianggap kriminal.

Pada peristiwa ketiga, mungkin kita tidak menegurnya hanya karena tidak kenal dekat. Atau karena takut dianggap kuno dan kolot karena tidak mengikuti perkembangan jaman. Atau mungkin karena kita takut dengan pacarnya yang juga sahabat kita. Atau mungkin hanya karena kita tidak bisa berkomunikasi dengan para cewek gaul seperti itu? Yang pasti, bukan karena kita tidak tahu bagaimana Islam menyuruh muslimahnya berbusana, serta norma berpakaian secara umum.

Kejadian-kejadian seperti ini sering terjadi di antara kita. Saya pribadi menyebut fenomena seperti ini sebagai “kader dakwah tak berdaya”. Dia ada, dia tahu, tapi dia tidak melakukannya. Penyebabnya bisa sangat banyak. Di antara yang sering terjadi adalah karena tidak terbiasa melakukannya. Kita tidak terbiasa mengkritik sebuah kesalahan yang terjadi di sekitar kita. Kita tidak peka pada sesuatu yang salah yang terjadi di hadapan kita.

Padahal, ikhwah sekalian, ketika kita bisa melakukannya, kita semua sudah tahu betapa besar pahalanya. Pahala menolak keburukan, pahala menyuruh pada kebaikan, pahala yang di-clone dari orang yang kita tegur ketika dia menuruti perkataan kita, dan lain sebagainya. Kita semua sudah tahu bahwa pahala dakwah begitu tinggi. Tak ada perkataan yang lebih baik dari pada dakwah.

Lantas bagaimana solusinya?

Solusinya sederhana. Pertama, eratkan ikatanmu pada Sang Maha Kuasa yang nikmatnya sangat besar sekaligus azabnya sangat pedih. Kedua, latih kepekaan anda pada situasi yang-seharusnya-terjadi dan seharusnya-tidak-terjadi. Pastikan anda benar-benar memahami bahwa suatu kondisi, memang benar harus terjadi, dan juga bahwa kondisi lain memang benar tidak boleh terjadi. Pastikan bahwa anda memahami bahwa shalat Shubuh sebaiknya dilaksanakan berjamaah di Masjid, menyontek harus dijauhi, dan berpakaian haruslah sesuai dengan aturan dan norma.

Ketiga, jadikan hal-hal tadi pertanyaan dan pernyataan dalam hati anda yang kemudian akan menggelitik anda untuk senantiasa menempatkan semua pada tempatnya. Yang seharusnya dilakukan, harus dilakukan. Begitu juga, yang seharusnya tidak dilakukan, harus tidak dilakukan.

Keempat, mulailah realisasikan perasaan tergelitik anda tersebut. Mulailah mengajak orang-orang disekitar anda untuk shalat shubuh berjamaah di Masjid, untuk tidak menyontek, dan tidak berpakaian sembarangan. Jangan bosan untuk mencoba cara lain, jika cara yang pertama tidak pas.

Kelima, percayalah bahwa kalian sedang menyatakan kebenaran, dan kalian juga sedang menyatakan cinta dan kasih sayang pada orang yang kita ajak dan tegur. Kita tidak menegur dan melarang mereka karena sikap benci dan marah kita. Kita benar-benar mengajak untuk kebaikan mereka.

Keenam, selalu tawakkal pada Allah tentang hasil akhirnya. Karena kita harus yakin bahwa hidayah itu dari Allah. Hanya Dia saja yang berhak memberikannya, pada siapa pun yang Dia kehendaki saja. Dan tetap husnuzhan padaNya, bahwa Dia akan senantiasa adil pada hamba-hambanya.

Selamat berdakwah.(fathiiiii)