Sabtu, 12 Juni 2010

Pengertian, Ciri-ciri, Dan Kehujahan Hadits Shahih, Hasan, Dhaif

I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
Kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيم= orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Defisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadist yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2) Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.



I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadits shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadits menempuh tata kerja sebagai berikut;
1. Mencatat semua periwayat yang diteliti,
2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat,

b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.

c. Perawinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
1. kesaksian para ulama
2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.

d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.

e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.

I.3. Pembagian Hadits Shahih
Para ahli hadits membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih.
a. Hadits Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadits Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.

I.4 Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fiqih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.


I.5 Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga, ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.


II. HADITS HASAN
II.1 Pengertian Hadits Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
1. definisi al- Chatabi: adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.

II.2 Macam-Macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadits hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

II.3 Kehujahan Hadits Hasan
Hadits hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.


III. HADITS DHAIF
III.1 Definisi Hadits Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.

III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
• Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
• Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.


• Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.

Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing.
1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”


3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
 Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
 Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
 Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
 Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.















KESIMPULAN

• Hadits Shahih menurut bahasa berarti hadist yang bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih adalah hadist yang susunan lafadznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir, atau ijma’ dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
• Hadist hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
• Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadis daif yaitu hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan. Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.

1 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum..

    Barokallohufiik

    Mungkin ada yg sedikit sebaiknya disesuaikan akhy.
    Pada pasal : Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif
    sub: 2. Ulama yang menerima hadits dho'if.

    Dikatakan bahwa imam Ahmad rohimahulloh termasuk golongan ulama yg secara bulat mau menerima "hadits dho'if".

    Mungkin perlu diterangkan bahwa, yang dimaksud "hadits dho'if" yg dikehendaki imam Ahmad adalah "Hadits Hasan", mengingat pada masa beliau belum ada pengkatagorian 3 derajat hadits (1.Shohih-2.Hasan-3.dha'if), namun hanya Shohih dan dho'if.
    Maka beliau pun menegaskan maksudnya ini dengan perkataannya (sebagaimana dikutip syaikh as-Suyuti), "Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan (pemeriksaan dan penilaian sanadnya). Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya (ttg targhib & tarhib), kami longgarkan.”

    Demikian yang dapat ana nashihatkan.
    Wallohu a'lam bishowwab.


    Faushiikum waiyyaya bitaqwalloh.
    Barokallohufiik

    BalasHapus